Cerdas Terima Informasi, Masyarakat Perlu Diedukasi
Kominfo | 24 Mei 2021 | Dibaca 570 kali |

Ilustrasi

Jakarta, Kominfo – Kemajuan teknologi informasi, khususnya melalui platform digital, terjadi sangat pesat belakangan ini. Banyak hal positif yang dapat diambil, namun tidak sedikit juga sisi negatif yang dapat terjadi akibat disrupsi informasi yang ditimbulkan, seperti menyebarnya kabar bohong/hoax, fitnah, atau adu domba. Oleh karena itu, untuk memperkecil sisi negatif yang terjadi dari kemajuan teknologi informasi, diperlukan edukasi kepada masyarakat agar dapat mengolah informasi yang diterima dengan baik.

“Ya, makanya itu kita harus mengedukasi masyarakat supaya masyarakat itu cerdas, tidak menerima semua informasi yang diperoleh. Seperti tadi kita katakan, bahwa informasi ini ada yang positif, ada yang negatif, ada fitnah, ada kabar bohong, ada hoax ada berbagai macam hal. Ada yang destruktif, ada yang konstruktif. Nah, ini memang kita harus mengedukasi masyarakat untuk tidak menerima apa yang diterimanya,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin ketika diwawancara secara virtual dari Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2 Jakarta, yang di muat oleh Harian Kompas, Sabtu (26/06/2021).

Dalam wawancara yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra ini, lebih lanjut Wapres menyampaikan bahwa bagi umat Islam, perintah untuk melakukan pengecekan ulang informasi sudah tertera di dalam Al-Quran.

“Kalau di dalam Islam itu kan memang sudah ada, sudah ada ayatnya ya. Kalau ada berita, itu harus di-tabayyun dulu, dicek dulu. Jangan langsung diterima ya. Sebab mungkin sekali berita itu tidak benar, sehingga kamu membuat pandangan, pendapat, keputusan yang kamu sebenarnya tidak tahu persis, sehingga merugikan orang lain dan nanti kamu akhirnya akan menyesal,” ungkapnya.

Wapres pun kemudian menjelaskan, bahwa disrupsi informasi tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga secara global. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya edukasi yang bersifat global untuk meredam terjadinya penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab.

“Oleh karena itu, memang ada upaya-upaya yang sifatnya nasional, regional, bahkan juga global,” urai Wapres.

“Ini memang harus ada strategi yang betul-betul yang tepat untuk menghadapi itu dan diperlukan adanya kewaspadaan dan kesiapan kita,” tambahnya.

Di sisi lain, Wapres juga menekankan tentang pentingnya penguatan empat bingkai kerukunan agar masyarakat tidak mudah terpecah belah akibat informasi yang menyesatkan, khususnya di Indonesia yang merupakan negara majemuk dengan beragam suku bangsa, agama, dan budaya. Keempat bingkai kerukunan tersebut adalah bingkai politis, bingkai teologis, bingkai sosiologis, dan bingkai yuridis.

Menurut Wapres, bingkai politis berarti kerukunan yang dibangun sesuai dengan kesepakatan nasional (al mitsaq al wathani), yang diperkuat dengan konsep Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara, bingkai teologis, Wapres mengatakan, kerukunan yang dibangun sesuai dengan ajaran agama, sehingga jika ada perbedaan, yang dibangun adalah kerukunan bukan narasi konflik.

“Narasi-narasi yang dalam menyampaikan dakwah, penyiaran agamanya itu harus menghindarkan narasi konflik ini. Ini yang harus kita jaga betul pemahaman ini. Nah ini harus kita upayakan,” tegas Wapres.

Terkait bingkai sosiologis, lanjutnya, kerukunan yang diciptakan sesuai dengan local wisdom, yaitu kearifan lokal, seperti di Batak ada dalihan natolu, di Ambon ada pela gandong, dan di Kalimantan ada rumah betang.

“Jadi, ini semua sebenarnya di daerah itu ada kearifan lokal yang menjaga kerukunan, dia harus kita hidupkan dan kita bangun, sehingga mereka, masing-masing daerah itu kembali kepada kearifan lokalnya,” imbaunya.

Yang terakhir, bingkai yuridis, Wapres menuturkan, kerukunan dibentuk sesuai dengan aturan-aturan sehingga tidak terjadi konflik nasional. Baik kerukunan antar pemeluk agama, antar sesama bangsa, etnis dan lain sebagainya.

Menutup wawancara, Wapres pun mengimbau kepada para pihak terkait yang memiliki otoritas dalam mengawasi peredaran informasi agar terus bekerja keras untuk dapat mengantisipasi dampak buruk dari disrupsi informasi dan mengedukasi masyarakat untuk dapat menerima serta mencerna informasi dengan baik.

“Maka itu kita ingin supaya Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), kemudian juga dari kalangan baik intelijen maupun cyber kita itu siap menghadapi setiap [disrupsi informasi yang terjadi], sehingga tidak terjadi penyebaran yang masif. Begitu muncul itu harus sudah bisa diantisipasi, dideteksi. Barangkali memang ini butuh kerja keras, kerja tidak mudah, ya dan kesadaran tinggi,” pungkasnya.

Selain Pemimpin Redaksi Harian Kompas, hadir secara virtual dalam wawancara ini beberapa wartawan Kompas yang bertugas di lingkungan Istana Wakil Presiden diantaranya Suhartono, Antony Lee, Cyprianus Anto Saptowalyono, Mawar Kusuma, dan Nina Susilo.

Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar serta para Staf Khusus Wapres Bambang Widianto dan Masduki Baidlowi.

BAGIKAN :